SINOPSIS
————————————————————-
Arab Spring oleh sebagian kalangan dianggap sebagai momentum panggilan bagi tegaknya demokrasi dan kebebasan di Timur Tengah, setelah beberapa dekade kawasan itu dipimpin oleh rezim otoriter. Negara-negara di kawasan ini memang umumnya dipimpin oleh rezim despotik, baik yang berkarakter monarki konservatif seperti Bahrain, Qatar, Kuwait, Oman, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Maroko, Yordania, dan Iran (sebelum revolusi 1979) ataupun rezim progresif revolusioner seperti Mesir, Libya, Suriah, Yaman, Tunisia, dan Irak (sebelum invasi AS di tahun 2001).
Namun, Desember 2010 tampaknya telah menjadi tanda awal bagi retaknya kekuatan rezim despotik dan tumbuhnya pemerintahan yang lebih demokratis di kawasan Timur Tengah. Beberapa rezim despotik yang bercorak progresif revolusioner bahkan akhirnya bertumbangan, seperti di Tunisia, Mesir dan Libya. Untuk rezim monarki konservatif memang belum ada satupun yang runtuh, namun gejolak demokrasi tetap tidak mampu disterilkan seperti terjadi di Bahrain. Musim semi bagi demokratisasi di Timur Tengah bermula ketika terjadi pergolakan politik di Tunisia Desember 2010 yang kemudian menyebar ke Mesir, Libya, Aljazair, Yaman, Bahrain dan Suriah yang sampai saat ini masih bergejolak.
Buku ini—yang merupakan hasil penelitian tim ilmuwan Pusat Penelitian Politik LIPI yang mempunyai perhatian di bidang agama dan demokrasi pada umumnya dan politik Islam pada khususnya—berupaya untuk memberikan pemahaman yang mendasar mengenai agama dan demokrasi di beberapa negara, dan memberikan masukan dalam perumusan kebijakan ilmu pengetahuan. Hubungan antara hasil riset dengan perumusan kebijakan merupakan hal yang membutuhkan eksplorasi lebih jauh sehingga bersifat saling melengkapi.